Hari masih gelap. Jam menunjukkan pukul 5.30 tapi Mohammad Arief sudah melangkah keluar rumah. Dia tidak sempat berpamitan dengan Rizki, anaknya, karena masih tidur. Rizki baru berumur 5 tahun. Tidak tega Arief membangunkannya. Dia cukup senang melihat anaknya tertidur pulas. Hanya dalam hati saja Arief berpamitan.
Tempat kerja Arief di Kota Deltamas, Cikarang sementara rumahnya di Cirendeu. 120 km kalau dihitung bolak balik. Itu jarak yang dia tempuh setiap hari dengan bus. Dari satu bus ke bus yang lain. Cukup melelahkan. Tapi Arief menjalankannya dengan ikhlas.
"Kalau gue pikirin, ntar jadi beban.”
“Kenapa tidak tinggal di Cikarang saja, biar dekat dengan tempat kerja?"
"Rumah gue mau dikemanain?,
“Ya, udahlah. Mau gimana lagi”.
Rutinitas ini sudah dijalaninya selama 5 tahun. Sebelumnya dia pernah bekerja di groupnya Lippo Karawaci. Dia bekerja sebagai arsitek landscape yang bertanggung jawab terhadap desain taman dan perkembangan pohon-pohon yang ditanam. Penampilannya sederhana dengan tas kecil yang melintang di badannya. Dan kadang-kadang di sela jarinya menempel rokok marlboro. Badannya tinggi dan kurus. Umurnya baru 39 tahun tetapi rambut bagian depan sudah banyak yang rontok. Sekalian saja dia mencukur habis rambutnya. Kepalanya terlihat mengkilat. “Silau”, begitu orang selalu menggodanya. Perawakannya jauh dari seorang arsitek landscape. Tidak banyak yang menyangka kalau dia penyayang tanaman. Taman indah yang ada di Kota Deltamas didesain olehnya. Tapi ironisnya, tamannya rumahnya sendiri hanya ditanami rumput gajah dan satu pohon angsana.
Dia cukup beruntung karena Rita, sang istri, bersedia bekerja sebagai ibu rumah tangga. Ada perasan tenang ketika meninggalkan rumah ketika melihat isterinya menemani si kecil. Rita mengurus rumah tangga tanpa pembantu termasuk mengantar dan menjemput Rizki dari sekolah. Rizki masih sekolah di TK. Sekolahnya tidak jauh dari rumah. Hanya 20 menit dengan angkot.
Kira-kira pukul 8.30 malam, Arief baru kembali ke rumah. Rizki masih belum tidur.
“Rizki sudah makan?”.
“Sudah”
“Tadi belajar apa?”
Rizki tidak mau tidur kalau belum ketemu dengan ayahnya. Pernah sekali waktu, Arief pulang pukul 10 malam, Rizki belum tidur. Sambutan Rizki membuat Arief cukup senang. Pulang kerja adalah kesempatan Arief untuk main bersama anaknya. Walau hanya sebentar. Itu sudah cukup bagi mereka berdua.
Sudah dua tahun ini Arief mencoba mencari pekerjaan yang baru. Yang lebih baik dan lebih dekat. Sudah banyak lamaran yang dikirim dan sudah banyak pula panggilan yang dilalui, tetapi nasib baik masih belum berpihak dengannya. Tidak ada pilihan. Arief mesti tetap menjalani pekerjaan yang sekarang. Dan Insya Allah adalah kata yang sering dia ucapkan, kalau Rizki meminta sesuatu. Tidak ada yang berubah dan setiap pagi buta Arief hanya bisa berpamitan dengan Rizki dalam hati,” Ayah, pergi dulu“.
No comments:
Post a Comment